Pemberian gelar pahlawan pada Sjafruddin Prawiranegara mestinya dilakukan jauh hari.
“Makan bisa berhenti, berjuang tidak perlu berhenti”. Kalimat ini yang mengingatkan Akmal H Jacoeb (75 tahun), mantan staf Ketua Dewan Perjuangan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Achmad Husein, kepada sosok Sjafruddin Prawiranegara.Saat mendapatkan kabar Sjafruddin Prawiranegara ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, Akmal berucap syukur. “Alhamdulillah, kapan beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional? Tahun lalu sudah kita usulkan, belum dikabulkan,” ucap Akmal H Jacoeb dalam perbincangan telepon dengan VIVAnews, Selasa, 9 November 2011.
Akmal termasuk ke dalam sekitar 60 pemuda asal Sumatera Barat yang kembali ke kampung untuk berjuang bersama PRRI pada 6 Maret 1958—tiga pekan pasca dideklarasikannya PRRI pada 15 Februari 1958. Ia langsung bergabung dengan Dewan Perjuangan yang saat ini dipimpin Achmad Husein.
Persinggungannya dengan Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri terjadi ketika ditugaskan untuk mengumpulkan sejumlah pimpinan PRRI yang terserak di sejumlah daerah di Sumbar. “Saya ditugaskan Pak Achmad Husein untuk mencari Pak Sjaf, dan pemimpin lainnya seperti Burhanudin Harahap dan Pak Simbolon yang saat itu berpencar agar tidak mudah tertangkap,” kenangnya.
Para pemimpin PRRI ini tersebar mulai dari Solok Selatan, arah Selatan Sumbar, hingga ke arah utara Sumbar. Satu bulan lebih dihabiskannya untuk berjalan mencari para pemimpin-pemimpin tersebut. Maluddin Simbolon yang dalam kabinet PRRI menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dijumpainya di Sungai Sungkai, Talaok, Solok Selatan—daerah perbatasan dengan Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Sedangkan sang Perdana Menteri dijumpainya di Suliki, Koto Tinggi, Payakumbuh. Di sana Ayah Akmal—nama panggilan Akmal H Jacoeb—bersinggungan langsung dengan Sjafruddin Prawiranegara. Pak Sjaf— panggilan akrab Sjafruddin Prawiranegara saat itu— sangat senang bertemu dengan anak muda seperti Akmal.
“Beliau senang sekali dengan anak muda, optimistis dan energik, karena beliau orangnya seperti itu, selalu optimistis dan berani mengambil kebijakan,” ujarnya. Usai menyerahkan surat dari Achmad Husein, Ayah Akmal memberikan kode sandi, dan nama sandi buat Sjafruddin agar bisa berkomunikasi kembali dengan pemimpin-pemimpin PRRI yang lain lewat telegraf.
Dari pertemuan langsung tersebut Akmal bisa melihat kepribadian sang Perdana Menteri Sjafrudin Prawiranegara. “Sifatnya yang paling menonjol yang saya ingat, beliau tegas, berani, dan jujur, itu paling menonjol,” ujarnya.
Ia menilai, Sjafruddin Prawiranegara sosok pahlawan yang menyelamatkan bangsa Indonesia dari agresi Belanda kedua. Dengan diproklamirkannya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Halaban, Koto Tinggi, Payakumbuh, diplomasi RI di mata internasional kembali diakui.
Walaupun pembentukan PRRI menjadi kontroversi di mata pemerintahan Orde Baru, menurutnya, apa yang diperjuangkan PRRI sebatas untuk meluruskan kekeliruan di tingkat pusat. Apa yang diserukan PM Sjafruddin Prawiranegara dengan PRRI hanya sebatas agar pemerintah kembali ke UUD ’45, pemberian otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat dengan daerah, dan mengutuhkan kembali dwi tunggal Soekarno-Hatta.
“Hanya keinginan terakhir yang tidak kesampaian, selebihnya sudah terbukti dijalankan saat ini—kembali ke UUD ’45, otonomi daerah,” katanya. Menurutnya, tidak ada alasan untuk mengatakan apa yang dilakukan PRRI semasa Sjafruddin sebagai tindakan makar. Kondisi ini, ujarnya, murni dari kekeliruan pemerintah pusat dalam mengartikan hubungan antara pusat dan daerah.
Hampir 3,5 tahun waktunya dihabiskan Ayah Akmal bergerilya di bawah arah sang perdana menteri. Hingga pada tahun 1961, pejuang PRRI kembali ke kota dan menyatakan diri kembali bergabung ke pangkuan RI. “Pertimbangan Pak Sjaf saat itu hanya sebatas untuk menjaga keutuhan bangsa dan mencegah suburnya komunis,” tambahnya.
Terlambat
Ayah Akmal mengakui, apa yang diperoleh Sjafruddin Prawiranegara saat ini sudah menjadi haknya. “Beliau itu orang hebat, teguh pendirian, memang seorang pemimpin,” ujar orang yang mendorong berdirinya Yayasan PDRI ini.
Secara terpisah, sejarawan Universitas Andalas Prof Gusti Asnan mengatakan, pemberian gelar pahlawan pada Sjafruddin Prawiranegara mestinya dilakukan jauh-jauh hari. “Semua kriteria tentang kepahlawanan beliau penuhi, seharusnya, begitu meninggal, langsung diberikan predikat Pahlawan Nasional,” katanya.
Menurut Prof Gusti, pemberian gelar pahlawan pada Sjafruddin Prawiranegara saat ini hanya untuk memperkokoh gelar yang sudah diakui masyarakat jauh-jauh hari. “Memang hanya sebatas legalitas semata, karena masyarakat sudah menganugerahinya jauh-jauh hari. Walaupun terlambat sekali (Pahlawan Nasional), gelar ini patut kita apresiasi,” ungkapnya.
Ketua PDRI Sjafruddin Prawiranegara ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada, Selasa, 8 November 2011. Penganugerahan dilaksanakan dalam sebuah upacara yang dipimpin Presiden Yudhoyono, di Istana Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar